Sejarah Kerajaan Islam Sintang


Sintang memiliki objek wisata alam yang cerah dan indah. Selain itu ada beberapa tempat bersejarah dan peninggalan budaya yang masih kental dengan adat istiadat.

Bukti sejarah berdirinya Kerajaan Sintang dapat ditelusuri melalui sejumlah benda peninggalan, seperti batu lingga yang bergambar Mahadewa dan arca Nandi di Desa Tanjung Riah, Kecamatan Sepauk. Tidak jauh dari lokasi tersebut, ditemukan juga makam Aji Melayu, yang diduga merupakan nenek moyang raja-raja Kerajaan Sintang.

Aji Melayu adalah penyebar agama Hindu di Sintang yang berasal dari Semenanjung Malaya. Ia datang pada abad ke-4 dan menikah dengan wanita cantik bernama Putung Kempat. Dari pernikahannya, Aji Melayu dikaruniai anak laki-laki bernama Dayang Lengkong, yang kelak keturunannya menjadi penguasa di Sintang. Adapun keturunan Dayang Lengkong adalah Demang Irawan, orang yang gemar bertualang bersama pengikutnya pada abad ke-13. 

Dalam petualangannya, ia sampai di daerah Tempunak, yang tengah terjadi konflik perebutan perbatasan antara Suku Dayak Desa dan Dayak Linoh. Demang Irawan pun mencoba membantu dan berhasil meredam konflik antara kedua suku ( suku Dayak Desa dan dayak Linoh ). Karena kebaikannya Demang Irawan, akhirnya beliau diangkat menjadi pemimpin Suku Dayak Desa dan Linoh. Kekuasaaan Demang Irawan kemudian meluas dan memindahkan pusat pemerintahannya ke Senatang, yang tepatnya di persimpangan Sungai Kapuas dan Melawi. Dari situlah, Senatang kemudian dikenal sebagai daerah Sintang, yang merupakan pusat pemerintahan Kerajaan Sintang.

Kerajaan Sintang adalah sebuah kerajaan yang pernah berdiri di Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat. Diduga, Kerajaan Sintang pada mulanya adalah kerajaan bercorak hindu. Namun, tidak dikatahui secara pasti kapan berdirinya. Dalam perkembangannya, ajaran Islam mulai masuk ke wilayah Sintang dan kerajaan ini berubah menjadi Kerajaan bernuansa Islam. Kerajaan Sintang mulai mengalami kemunduran hingga akhirnya runtuh setelah menyepakati perjanjian dengan Belanda.

Kerajaan sintang menjadi kerajaan Islam Menjelang akhir abad ke-17, yang di pimpin oleh  Sultan Nata Muhammad Syamsuddin Sa'adul Khari Waddin. 

Pada masa Sultan Nata Syamsuddin sa'adul Khari Waddin ini, Islam masuk dan berkembang di Sintang karena di bawa oleh pedagang dari Arab, Banjar, Serawak, dan Minangkabau. Salain menetapkan Kota Sintang sebagai kesultanan Islam, Sultan Nata juga menyusun undang-undang, pendirian masjid, dan membangun istana kesultanan. 

Pada Tahun 1736, Sultan Nata digantikan oleh putranya, Sultan Abdurrahman Muhammad Jalaluddin atau dikenal sebagai Sultan Aman. Pada masa Sultan Aman, Sintang mengalami kemajuan di bidang pertanian. 

Selanjutnya, takhta kerajaan jatuh kepada Sultan Cecep. Semasa pemerintahan Sultan Cecep, dibangun masjid baru untuk menggantikan yang lama.

Belanda pertama kali melakukan kontak dengan Kerajaan Sintang ketika Sultan Muhammad Qamaruddin (1796-1851) berkuasa. Sultan Muhammad Qamaruddin memiliki empat putra, yaitu Gusti Djemadin (Pangeran Suma), Gusti Muhammad Djamaluddin atau Gusti Muhammad Yasin (Pangeran Adipati), Abang Abu (Pangeran Laksamana) dan Abang Abdullah (Pangeran Prabu). 

Namun, karena Gusti Djemadin, yang menggantikan Sultan Muhammad Qamaruddin, tidak suka dengan kehadiran bangsa penjajah di wilayahnya, Belanda segera melakukan politik adu domba. Akhirnya, kekuasaan atas Sintang diserahkan kepada adiknya, yakni Gusti Muhammad Yasin, yang bergelar Pangeran Adipati Muhammad Djamaluddin. 

Pada masa pemerintahan Pangeran Adipati Muhammad Djamaluddin ini, Belanda datang kembali ke sintang di bawah pimpinan D.J. van Dungen dan C.F. Goldman. Kedatangan itu menghasilkan kesepakatan dagang dalam kontrak sementara atau disebut Voorlooping Contract, yang ditandatangani pada 2 Desember 1822.

Kerajaan Sintang kembali menyepakati perjanjian dengan Belanda pada tahun 1823, 1832, 1847, dan 1855. Serangkaian perjanjian itu semakin membuka peluang Belanda untuk ikut campur dalam urusan internal pemerintahan Kerajaan Sintang. Pada 24 November 1823, ditandatangani kontak dengan Belanda, yang mana isi perjanjian itu secara tidak langsung meruntuhkan kedaulatan Kerajaan Sintang. Berakhirnya Sintang ditandai dengan dibukanya kantor Belanda dengan menempatkan H. van Cafferon sebagai asisten residen. Sejak itu hingga masa penjajahan Jepang, Sintang menjadi daerah swapraja. Pada sekitar tahun 1960-an, Sintang menjadi kabupaten di bawah pemerintahan Indonesia.


Adapaun raja-raja kerajaan sintang antara lain :

Panembahan Samat Semah 

Panembahan Ismail Zaubair Mali Jubairi Irawan II 

Panembahan Tembilang Ari 

Panembahan Pencin Pontin (1600-1643)

Panembahan Tunggal (1643-1672) 

Sultan Muhammad Shamsuddin/Sultan Nata (1672-1738) 

Sultan Muhammad jalaluddin (1738-1786)

Sultan Muhammad Jamaluddin I (1786-1796)

Sultan Muhammad Qamaruddin (1796-1851)

Sultan Muhammad Jamaluddin II (1851-1855) 

Sultan Gusti Kusuma Negara I (1855-1889) 

Sultan Gusti Kusuma Negara II (1889-1905) 

Sultan Gusti Kusuma Negara III (1905-1913) 

Sultan Gusti Muhammad Jun Abdul Kadir (1913-1934) 

Sultan Gusti Kusuma Negara IV (1934-1944) 

Sultan Gusti Kusuma Negara V (1944-1950)

Dengan mengunjungi Istana Kesultanan Sintang, Kita akan melihat berbagai benda sejarah. Seperti gundukan tanah yang berasal dari kerajaan Majapahit, Meriam Raja Suka, Meriam Anak Raja Suka sebanyak 7 buah, Meriam Raja Beruk, Kampak Batu, Alat Musik Suku Dayak yaitu Kecapi , Salinan Undang-undang Adat Kerajaan Sintang, serta silsilah raja-raja yang pernah memerintah Kerajaan Sintang. Ada pula koleksi meriam dalam berbagai ukuran, peralatan-perlatan dari logam seperti talam, kempu, dan bokor, koleksi senjata seperti tameng dan tombak, naskah Al-Quran tulisan tangan pada masa Sultan Nata, berbagai macam stempel dan surat-surat kerajaan, serta foto-foto dan lukisan Raja-raja Sintang.


Posting Komentar untuk "Sejarah Kerajaan Islam Sintang"