Pilunya Kehidupan Sang Sufi Perempuan, Rabia'ah Al-adawiyah

Rabi’ah al adawiyah,  dilahirkan pada 95 Hijriyah di Bashrah. Waktu itu, Bashrah memiliki banyak ulama, para ahli fikih, ahli ilmu kalam, dan para zahid. 

Bashrah juga dipenuhi oleh istana bangsawan. Namun ada juga gubug gubug kumuh yang menjadi tempat berteduh orang-orang yang tak beruntung. Dan di salah satu gubuk itulah, Rabi’ah al adawiyah dilahirkan.

Konon, bayi tersebut dinamakan. Rabiah ,  dikarenakan sebelumnya sang ibu telah melahirkan tiga orang putri. Maka, si ayah menyematkan nama Rabi’ah (keempat) kepada bayi mungil yang baru lahir.  Ayah Rabiah hidup miskin, namun ia tetap teguh menjaga akhlaknya. Demikian pula sang ibu.

Saat proses kelahiran Rabi’ah al-adawiyah, 


minyak lampu teplok di rumahnya tinggal sedikit. Hanya cahaya remang- remanglah,  yang menyambut proses kelahiran Rabi’ah al adawiyah, dan ketika lahir, sang ibu masih harus kebingungan mencari kain penghangat,  untuk si jabang bayi. Akhirnya, sang ibu meminta suaminya, untuk memberanikan meminta sedikit minyak,  demi lampu teplok kepada tetangga. Namun, tidak ada hasil.

Sang ayah akhirnya tertidur dalam kesedihan. Dalam tidurnya, ia bermimpi bertemu dengan Rasulullah, beliau bersabda kepadanya, "Jangan bersedih. Anak perempuanmu yang baru lahir ini, kelak menjadi tokoh yang agung derajatnya. Tuiuh puluh ribu umatku amat mengharap syafa'at darinya." Nabi Muhammad lalu memerintahkan sang ayah,  untuk menemui gubernur Bashrah, dan menyerahkan kepadanya selembar kertas yang bertuliskan.  Setiap hari engkau bershalawat seratus kali kepadaku. Khusus pada malam Jum’at, sebanyak empat ratus kali. Namun, hari Jum’at kemarin engkau lupa kepadaku. Untuk itu, berikan kepada orang ini empat ratus dinar, agar dosamu terhapus karena melupakanku.

Sang ayah membulatkan tekad. ia menyerahkan kepada sekretaris gubernur , selembar surat berisi catatan dari Nabi. Sekretaris lalu menyampaikan surat itu kepada Sang gubernur Bashrah. Fariduddin Athar dalam Tadzkirat al awliya' berkata.  "Berikanlah dua ribu dinar kepada para fakir miskin , dan empat ratus kepada syekh yang ke sini itu, Katakan bahwa aku memintanya untuk menemuiku. Tidak. Jangan.  Lebih patut jika akulah yang menemuinya. Berlutut di depan pintunya, membersihkan pintu rumahnya dengan janggutku sendiri, memohon kepadanya agar ia sudi memohon kepada Allah, apa yang kuinginkan, dan ia bisa membeli semua yang dibutuhan bayi.

Rabi’ah Al Adawiyah, adalah tokoh sufi perempuan dalam dunia tasawwuf,  yang begitu kokoh dengan rasa cintanya kepada Allah Subhanahu wa ta’ala. satu satunya sufi dari kalangan wanita yang namanya harum.

Kisahnya, 

dikenal sebagai wanita yang semasa hidupnya tidak pernah menikah. Namun jarang yang mengetahui , kisah pilu yang ia lalui hingga latar belakang keluarganya.

Perjalanan hidup Rabi’ah,  dipenuhi oleh duka berkepanjangan. Dia sudah ditinggalkan ayahnya , sebelum mampu berjalan, menapak jalan kehidupan dunia yang fana ini. 

di dalam kitab,  Syakhsiyah Ashufiyah diceritakan, bahwa ayah Rabi’ah hanya meninggalkan sampan rapuh, untuk menyeberangkan orang di sungai Dijlah.

Akibat himpitan ekonomi yang menjerat, Rabi’ah pernah menjalani tiga profesi yaitu sebagai tukang penyeberang sungai dengan sebuah sampan yang sudah reyot, pernah menjadi seorang penyanyi untuk menghibur orang , dan menjadi seorang budak belian.

Tak banyak yang bisa diperbuat Rabi’ah di masa remajanya, seorang wanita yang sejak kecil telah berusaha, untuk bangkit berjalan meniti kehidupan dunia ini, diatas kakinya yang masih rapuh.

Tuntutan ekonomi memaksa diri Rabi’ah , menjalani profesi yang paling rendah dihadapan manusia , dan suatu profesi yang dianggap paling bawah. Hidupnya yang malang selalu diliputi oleh kesengsaraan, terjerat oleh duka, terkungkung dalam lara yang hanya diam , mendesah dalam pilu.

Dalam menjalani hidup sebagai seorang budak, Rabi’ah al-adawiuyah senantiasa menjalani nya dengan penuh tabah dan sabar. Siang dia menjalani hidup memenuhi kewajiban sebagai seorang budak, malam ia lalui hidup sebagai seorang hamba Tuhan. Dia sadar akan kedudukanya sebagai budak , dan dia juga sadar bahwa dia sebagai seorang hamba Allah.

Rabi’ah sering menjerit walau tanpa suara, dan dia pun tak jarang menangis walau tanpa air mata. Duka Rabi’ah adalah duka bisu dan penderitaanya tak pernah terkatakan. Rabi'ah merasakan suatu kesedihan, yang sangat rahasia yang tak seorangpun mengetahui tentangnya.

Sampai pada suatu saat Rabi’ah, bertemu dengan seorang ulama sufi terkenal,  yang bernama Tsauban. Sejak saat itu dia memutuskan , untuk menghetikan profesinya sebagai penyanyi. Dia sadar sekaligus insaf.

Rabi’ah mulai membiasakan diri untuk bermunajat, berdoa mengeluhkan nasib, kepada Allah Subhanahu wa ta’ala. Dia yakin suatu ketika Allah, akan senantiasa mendengar keluh kesahnya.

Karena keyakinannya, dia mulai merasakan bahwa setiap malam ketika sedang bermunajat, dan berdo’a mengadukan nasibnya, seakan akan ada yang berbisik. 

Seraya berkata. " jangan engkau bersedih hati, karena kelak orang  orang yang dekat dengan Ku, akan merasa cemburu melihat kedudukanmu.

Tanpa sedikitpun ia sadari, ada sebuah perubahan dalam dirinya. ia mulai tidak menghiraukan sekelilingnya, ia tidak hirau dengan keadaan dan kondisinya. ia merasakan ada sebuah tenaga yang membuatnya lebih merasakan,  akan hidup yang sebelumnya tak pernah ia rasakan.

Suatu malam Begitu sejuk kata kata tulus keluar dari mulut Rabi’ah, yang kala itu masih seorang budak wanita. Hingga majikanya merasa terharu. Rabi’ah memanjatkan sebuah do’a dengan linangan air mata.

“ya Allah Engkau Maha Tahu, bahwa aku ingin selalu bersamaMu, hatiku sangat ingin berbakti kepada Mu. Ya Allah , seandainya aku sendiri yang menentukan akan keadaanku, pasti sejenak pun,  aku tak ingin menghentikan bakti ku kepadaMu. Tetapi Engkau telah menempatkan aku di bawah kemurahan hati orang lain”.

Esoknya harinya majikanya memanggil Rabi’ah. “Wahai Rabi’ah , aku telah memutuskan untuk memerdekakanmu. Seandainya engkau memutuskan untuk tetap tinggal di rumahku ini, tentu kami semua akan merasa gembira, dan akan menemanimu sebagai seorang yang bebas dan merdeka. Tapi seandainya engkau mau memutuskan, untuk meninggalkan rumah ini , dan pergi entah ke mana, maka kami hanya bisa berdo’a akan keselamatanmu, dan segala permintaanmu untuk itu akan kami kabulkan.

Setelah dibebaskan oleh majikanya, ternyata Rabi’ah lebih memilih pulang ke kampung halamanya. Dia kembali ke tempat kelahiranya , untuk memulai kehidupan baru. Rabi’ah memulai kehidupan zuhud, dan mengabdikan hidupnya untuk beribadah kepada Allah Subhanahu wa ta’ala. 

Nama lengkap dari Rabi’ah,  adalah Rabi’ah binti Ismail Al-Adawiyah. Dilahirkan di kota Bashrah sekitar tahun 95 Hijriyah atau 713 Masehi. Ia merupakan putri keempat , dari empat bersaudara. Rabi’ah dilahirkan dari keluarga miskin. Bahkan pada waktu kelahiranya, orang tuanya tidak bisa membeli minyak untuk lampu guna menerangi kelahiranya.

Posting Komentar untuk "Pilunya Kehidupan Sang Sufi Perempuan, Rabia'ah Al-adawiyah"