diceritakan
oleh Imam Al-Ghazali dalam Kitab, Ihya Ulumiddin, suatu ketika seorang ulama
yang menunaikan tanggung jawab fardhu kifayahnya atas jenazah manusia. Ulama
tersebut bersama sejumlah jama'ah mensholatkan seorang waria yang meninggal
dunia. Sampai pada tanggung jawab yang hidup atas yang meninggal tidak ada
masalah. Namun masalahnya yang meninggal adalah seorang waria.
tanggapan
masyarakat terbelah artinya ada yang meragukan untuk menshalatkan Janazah
tersebut. Shalat jenazah ini menuai perselisihan di tengah masyarakat.
Peristiwa ini menjadi perbincangan di tempat masyarakat berkumpul. Sebagian
masyarakat mendukung atas sholat jenazah waria tersebut, karena sholat jenazah memang kewajiban orang
yang hidup atas orang yang sudah meninggal. Tetapi sebagian masyarakat lainnya mencaci ulama
tersebut karena mensholatkan seorang waria.
Seraya berkata . “Dia (waria) itu kan fasik durjana,” kata sebagian masyarakat yang mencibir. Ulama itu tidak merespons. Tetapi sebagian masyarakat yang tidak setuju atas shalat jenazah waria tersebut terus mengulangi keberatannya, dan terus memperbincangkan masalah shalat jenazah waria tersebut.
Ulama
tersebut kemudian angkat bicara. Ia merasa perlu untuk membahas perkara secara
jelas di tengah masyarakat. Ia merasa perlu memberikan penjelasan untuk
mengedukasi masyarakat.
Beliau
berkata : “Kalian bisa berdamai dengan
orang-orang yang curang dalam timbangan yang memiliki dua versi untuk mengambil
dan menerima. Tetapi ini, (ulama itu menunjuk pada jenazah waria), kefasikannya
menyangkut dirinya dan Allah.
Sedangkan
orang orang yang curang dalam timbangan , berbuat zalim terhadap manusia. Penerimaan
maaf atas kezaliman ini, agak jauh dari kenyataan. Sedangkan kejujuran dalam
urusan timbangan ini masalah berat,” kata ulama tersebut. Ulama tersebut
menjawab demikian dikarenakan adanya penyakit sosial yang melanda masyarakat di
zamannya, yaitu kecurangan dalam timbangan.
Ulama
tersebut mengingatkan masyarakat agar dapat berpikir secara jernih, bahwa
sholat jenazah yang dilakukannyadilakukan atas waria tersebut, merupakan
kewajibannya sebagai orang yang hidup, terlepas dari dosa individu yang dilakukan
jenazah waria tersebut, yang menjadi hak Allah. Hak allah dibangun di atas
dasar maaf-Nya. Adapun masyarakat yang mencibir dan menggunjing ulama tersebut,
menganggap kecurangan dalam timbangan, yang sedang mewabah di zaman itu,
sebagai sesuatu yang lazim. Sementara kecurangan dalam timbangan merupakan
tindakan kezaliman terhadap manusia , yang sulit dimaafkan, karena melibatkan
ridho orang lain. Masyarakat mencibir shalat jenazah waria. Sementara mereka
diam saja atas kezaliman yang terjadi di samping mereka.
Maka
kita sebagai manusia jangan lah berbuat dzalim pada sesama manusia, karena jika
kita Dzalim pada sesama manusia, maka kita harus meminta maaf kepada manusia
tersebut dan kepada Allah.
Posting Komentar untuk "Menshalatkan Janazah Waria, Ulama di cibir"